

Ketika pertama kali bertugas sebagai hakim, saya ditempatkan di sebuah kota kecil bernama Blambangan Umpu, di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Karena beberapa alasan saya dan istri memutuskan untuk tidak memindahkan keluarga kami ke Blambangan Umpu, sehingga saya harus menyediakan waktu untuk pulang menengok keluarga di Denpasar. Saat itu teknologi informasi dan komunikasi tidaklah secanggih jaman sekarang. Jangankan untuk melakukan video call, untuk menelpon melalui jaringan selular biasa pun tidaklah mudah. Saat itu anak pertama kami juga baru lahir, sehingga karena keterbatasan komunikasi maka sulit bagi saya dan anak saya untuk membangun suatu kedekatan. Ketika anak kami makin dewasa, meskipun setiap hari istri saya menunjukkan kepadanya foto saya sebagai ayahnya, namun tiap kali saya pulang ke Denpasar anak kami menunjukkan rasa asing kepada saya, khususnya di hari pertama saya tiba. Akibatnya ia tidak mau langsung saya
dan ajak bermain. Butuh waktu beberapa saat agar ia akhirnya yakin dan percaya bahwa saya adalah ayah kandungnya. Hal yang hampir mirip dialami oleh Ayub. Ia memang dikenal sebagai orang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1). Namun ketika ia melalui berbagai masalah dan pencobaan, ia berusaha membela dirinya sendiri dengan menunjukkan segala perbuatan baik dan kesalehan dia. Ia mempertanyakan mengapa ia harus mengalami penderitaan padahal ia sudah hidup dalam kesalehan. Namun ketika Allah menunjukkan pribadi-Nya yang sejati kepada Ayub, maka Ayub tidak lagi mempertanyakan hal tersebut. Ketika Allah sendiri berfirman kepada Ayub, barulah Ayub sadar bahwa Allah adalah Tuhan yang berkuasa sanggup untuk melakukan segala sesuatu namun tetap peduli kepada dirinya yang hina. Selama ini Ayub ternyata hanya mengenal Allah dari cerita orang, atau dengan kata lain karena tradisi turun temurun. Namun lewat berbagai masalah yang menjungkirbalikkan hidupnya tersebut, barulah Ayub secara langsung mengenal siapa pribadi Allah yang sesungguhnya. Di saat itulah ia percaya kepada Allah dan mencabut semua ‘gugatannya’ kepada Allah dan menyesali semua tindakannya yang terdahulu dengan sikap yang merendah.
Leave a Reply